Siapa yang Ingin Rugi?


Bagaimana jika judul dalam tulisan ini, kita ajukan pada diri sendiri? Tentu siapa saja sepakat, tidak ada seorang pun yang ingin rugi. Baik dalam kehidupan sosial, politik, pendidikan, ranah materil maupun immateril. Tapi sebagai manusia, secara periodik pernah mengalami kegelisahan. Merasa kurang dengan apa yang dimiliki, jenuh terhadap aktivitas rutin, kemudian cenderung terjebak untuk meluangkan waktu dengan sia-sia.

Dalam salah satu firmannya, Allah mengingatkan pada kita, “Demi masa. Sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi.” Sebagaimana diketahui, dalam Islam, orang yang beruntung adalah jika hari ini memiliki keadaan lebih baik dari kemarin dan keadaan esok harus lebih baik dari hari ini.

Saya teringat nasehat almarhum Ayahanda di masa lampau. Katanya, waktu bagaikan bola salju yang terus menggelinding dan berhenti tanpa dapat diprediksi. Di dalam snow ball itu ada dua karakter manusia, karakter yang mampu memanfaatkan dan karakter manusia yang menyiakan-nyiakan waktu. Mampu mengoptimalkan waktu berarti memiliki karakter sejati dan berpeluang mendapatkan nasib yang baik, fii dunya wal akhirat.

Di penghujung tahun ini, mungkin saat yang tepat memeriksa agenda kita. Apakah seluruh perencanaan yang dibuat sebelumnya sudah diterapkan? Apakah kita komitmen dengan rencana dan evaluasi yang telah disusun? Apakah rencana pendek, menengah, dan rencana panjang telah membuahkan hasil? Apa saja kendala yang dihadapi dalam mencapai target? Solusi yang kiranya perlu dilakukan? Apa yang patut disiapkan untuk menyambut hari esok agar lebih baik?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak berlebihan. Mengingat perjalanan waktu kian bergulir cepat. Apalagi kondisi negara kita sedang terpuruk, gempa menjadi hal biasa, gunung meletus dimana-mana, musibah tak kunjung henti, jumlah kemiskinan semakin membengkak, bagi yang tidak siap menghadapi, akan terlindas jaman. Bila memang demikian, tidak menutup kemungkinan kerugian akan hadir dalam kehidupan sehari-hari. Padahal kerugian adalah antitesis dari impian seluruh manusia.

Meski demikian, tak selayaknya kita berpasrah diri dan berkecil hati. Sebab Allah tidak akan menguji di luar kemampuan hambanya. Artinya, selalu ada kesempatan untuk menghindari kerugian-kerugian dalam hidup. Selalu ada jalan bagi siapa saja yang ingin maju. Namun, Allah juga tidak akan merubah suatu kaum, sebelum kaum itu merubah nasibnya sendiri. Caranya? Banyak, setidaknya ada lima langkah yang bisa kita lakukan.

Pertama, selalu berdoa dan bersyukur. Doa merupakan senjata bagi umat Islam. Allah pun menganggap sombong manusia yang tidak pernah berdoa pada-Nya. Apapun yang terjadi, coba untuk selalu mensyukuri keadaan sambil terus berusaha dan berdoa. Barang siapa bersyukur, maka Allah akan menambahkan rizkinya. Sebaliknya, siapa saja yang kufur, sesungguhnya siksa Allah amatlah pedih. Demikian peringatan Allah yang diabadikan dalam Quran.

Kedua, minimalisir atau hilangkan sifat mengeluh. Misalnya, saat ini telah resmi menjadi sarjana. Namun, perusahaan selalu menolak lamaran, lapangan kerja menyempit, pengangguran merebak. Sepatutnya jangan menyalahkan keadaan, apalagi kalau menghakimi Tuhan. Kenapa? Setidaknya hari ini masih lebih baik dari kemarin. Jika kemarin adalah mahasiswa, tahun ini berhasil meraih gelar sarjana. Tapi, jangan pula cepat merasa puas atau hanya berdiam diri menunggu keadaan selanjutnya tanpa melakkan alternatif terbaik.

Ketiga, cobalah menanamkan karakter pembelajar sejati. Buku Self Empowerment by NLP; Jangan Mau Seumur-umur Dibodohi Diri Sendiri, menyimpulkan bahwa motif utama seorang yang bersikap positif adalah ingin menjadi seorang yang memiliki karakter pembelajar sejati. Karakter yang lahir dari proses atau dinamika sikap positif. Seseorang yang memiliki karakter ini selalu bersemboyan kapan dan di manapun serta dalam kondisi apapun akan tetap belajar. Intinya, segala peristiwa dan kondisi apapun, kita terus berupaya agar menghasilkan adanya kemajuan dan pengembangan diri.

Misalnya, untuk kepentingan nasib jangka panjang, kita rela menunda kesenangan sesaat, selalu berusaha menjalanai hidup dengan ikhlas meski cobaan selalu menghadang. Paling tidak mencoba untuk merubah sudut pandang. Dari cara pandang lama yang negatif menjadi positif, inferior menjadi superior. Dari konsep diri yang masih menerawang menjadi lebih jelas. Dari kebiasaan mensia-siakan waktu menjadi pribadi yang pandai menghargai waktu. Bukankah Allah telah bersumpah demi waktu? Apalagi akumulasi dari semua tindakan positif adalah modal awal dalam menentukan nasib di masa mendatang.

Keempat, taburkan karakter pembelajar sejati. Ini berkorelasi dengan langkah ketiga. Setelah memiliki karakter pembelajar sejati, taburkan pada orang-orang terdekat. Ciptakan suasana yang kondusif, bentuk lingkungan positif. Dari lingkungan keluarga, kawan, relasi, hingga lingkungan yang skalanya lebih luas.

Kelima, menerapkan konsep khusnul khotimah (akhir yang baik). Siapa pun pasti mengharapkan meninggal dunia dalam keadaan khusnul khotimah. Nah, tidak ada salahnya konsep ini diterapkan pada segala aspek kehidupan. Misalnya, dalam melakukan segala hal, berupaya mengakhirinya dengan hasil yang lebih baik. Selesaikan pekerjaan yang tertunda. Tingkatkan segala perbuatan dan hal-hal positif. Dengan kata lain, bila memulai sesuatu hal, akhiri dengan hasil yang maksimal.

Setelah bangkit dari tidur esok pagi, cobalah katakan pada diri sendiri, “siapa yang ingin rugi?” Kata Stephen Covey dalam bukunya Seven Habit of Highly Effective People, siapa menabur kebiasaan, akan menuai nasib. “Kesuksesan akan datang jika kita menghampirinya,” begitulah nasehat orang bijak terdahulu. Ya Allah, perbaikilah nasib kami dan jauhilah kami dari segala kerugian serta dekatilah pada kesuksesan, amin.

Tidak ada komentar: