Menjelang akhir tahun, tibalah musim bagi sebagian besar perguruan tinggi di tanah air melangsungkan prosesi wisuda anak didiknya. Euforia tentu terpancar dari wajah-wajah calon wisudawan/wati. Berbagai acara syukuran digelar sedemikian rupa, ucapan selamat pun datang dari berbagi penjuru. Ini adalah kultural yang entah sejak kapan terbentuk.
Sayang, euforia mulai bermetamorfosis menjadi kekhawatiran mendalam pasca wisuda. Apa sebab? Setiap tahun, jumlah sarjana di tanah air selalu membengkak. Jika dikalkulasikan, ada sekitar ratusan ribu bahkan jutaan sarjana berlomba dalam meraih pekerjaan yang didamba. Sementara lahan pekerjaan kian menyempit, di satu sisi keadaan perekonomian
Kita bukan berada di
Menurut hemat penulis ada sepuluh kealpaan telah dialami sarjana yang berstatus sebagai (calon) dan pengangguran. Kealpaan pertama, kurangnya perencanaan dalam masa perkuliahan. Perencanaan untuk menggapai target ini cukup varian, misalnya, merencakan nilai yang akan diraih di akhir semester atau menyiasati dalam memilih organisasi yang akan diikuti. Akan lebih baik jika di awal semester telah merencanakan perusahaan atau pekerjaan yang nantinya digeluti. Sayang, banyak mahasiswa yang menafikan krusialnya sebuah perencanaan.
Kedua, kurang komitmen dalam menerapkan perencanaan. Seperti kebanyakan undang-undang di negara ini. Sangat elegan dalam sebuah teks, namun buruk dalam implementasi. Banyak mahasiswa yang memiliki perencanaan matang, sementara lebih banyak pula yang tidak konsisten dalam merealisasikannya.
Ketiga, tidak disiplinnya mengevaluasi perencanaan dan target yang akan dicapai. Sebuah keberhasilan dapat dicapai melalui proses yang berliku. Diantara proses ini, evaluasi berkala terhadap perencanaan, menjadi satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan.
Keempat, minimnya jaringan yang dimiliki semasa kuliah. Mencari link dapat dilakukan dengan mengikuti organisasi intra maupun ektra kampus. Dengan adanya internet, jaringan akan lebih mudah lagi dicari, misalnya, aktif bergabung dalam milis yang sesuai dengan fakultas maupun jurusan masing-masing. Mengunjungi blog-blog tokoh terkenal, dan sebagainya.
Kelima, lupa terhadap krusialnya sebuah doa. Salah satu perbedaan fundamental sifat manusia dengan Sang Khalik terletak pada sebuah permohonan. Jika manusia selalu memohon sesuatu kepada manusia yang lain, dengan sifat manusiawinya, si pemberi akan merasa bosan, mungkin justru membenci orang yang selalu memohon pada nya. Namun, semakin sering manusia memohon pada Allah, maka Allah akan senang. “Berdoalah! Maka akan Ku kabulkan,” begitu janji Allah yang di nash dalam Quran.
Keenam, kurang aware terhadap pengembangan skill. Setiap manusia tentu memiliki skill yang diberikan Allah. Kampus, sebagai salah satu fasilitator dalam mengembangkan skill, tidak dimanfaatkan mahasiswa secara optimal.
Ketujuh, terlena dalam sebuah organisasi. Dengan beragam alasan klasik, para aktivis lebih memilih fokus melakukan kegiatan di organisanya. Sementara untuk meraih gelar sarjana dibutuhkan waktu belasan hinga puluhan semester. Akhirnya waktu dan kesempatan berharga terbuang sia-sia.
Kedelapan, salah memilih pergaulan. Kemajemukan dunia kampus tentu bergerak linier dengan varian jenis lingkungan di sekitarnya. Salah memilih pergaulan dan tidak segera menyadarinya, berimplikasi buruk pada masa depan.
Kesembilan, sifat malas yang selalu menghampiri. Kesalahan ini bermuara pada individu. Biasanya rasa malas datang ketika memasuki semester-semester akhir. Bagi yang terbuai, maka dapat berakibat fatal. Hal ini berkorelasi erat pada kesalahan butir pertama hingga ketiga.
Kesepuluh, suratan takdir. Dalam beberapa kasus banyak mahasiswa telah melakukan usaha dan doa yang optimal, namun, nasib baik belum berpihak. Jika ini terjadi, “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” Kesabaran menjadi key point untuk menghadapinya. Renungkanlah! “Bahwa seseorang tidak akan memperoleh kecuali apa yang ia usahakan.” (QS. An-Najm, 53: 39).
Sepuluh kealpaan ini memang sepele, namun memiliki efek meluas. Tidak ada salahnya diantisipasi dan diperbaiki guna menggapai karir yang didamba. Momentum pra dan pacsa prosesi wisuda, saat yang tepat merefleksikannya. Jika terpuruk, bangkitlah! Selalu ada kesempatan bagi siapapun yang ingin maju.