10 Kealpaan (calon) Pengangguran: Refleksi bagi Sarjana

Menjelang akhir tahun, tibalah musim bagi sebagian besar perguruan tinggi di tanah air melangsungkan prosesi wisuda anak didiknya. Euforia tentu terpancar dari wajah-wajah calon wisudawan/wati. Berbagai acara syukuran digelar sedemikian rupa, ucapan selamat pun datang dari berbagi penjuru. Ini adalah kultural yang entah sejak kapan terbentuk.

Sayang, euforia mulai bermetamorfosis menjadi kekhawatiran mendalam pasca wisuda. Apa sebab? Setiap tahun, jumlah sarjana di tanah air selalu membengkak. Jika dikalkulasikan, ada sekitar ratusan ribu bahkan jutaan sarjana berlomba dalam meraih pekerjaan yang didamba. Sementara lahan pekerjaan kian menyempit, di satu sisi keadaan perekonomian Indonesia masih terpuruk. Jumlah sarjana pengangguran pun kian tak terbendung.

Kita bukan berada di Argentina, yang belum lama ini telah berhasil lepas dalam krisis berkepanjangan. Namun, bukan berarti kita harus menyesal menjadi warga pribumi dan pasrah pada keadaan. Sekali lagi, kesuksesan juga tidak dapat diukur dari seorang yang telah meraih pekerjaan. Tapi, mengapa sarjana-sarjana kita tidak segera mengangkat nama baik keluarga dan perguruan tingginya? Mengapa pengangguran seakan menjadi sebuah “target baru” bagi mahasiswa?

Menurut hemat penulis ada sepuluh kealpaan telah dialami sarjana yang berstatus sebagai (calon) dan pengangguran. Kealpaan pertama, kurangnya perencanaan dalam masa perkuliahan. Perencanaan untuk menggapai target ini cukup varian, misalnya, merencakan nilai yang akan diraih di akhir semester atau menyiasati dalam memilih organisasi yang akan diikuti. Akan lebih baik jika di awal semester telah merencanakan perusahaan atau pekerjaan yang nantinya digeluti. Sayang, banyak mahasiswa yang menafikan krusialnya sebuah perencanaan.

Kedua, kurang komitmen dalam menerapkan perencanaan. Seperti kebanyakan undang-undang di negara ini. Sangat elegan dalam sebuah teks, namun buruk dalam implementasi. Banyak mahasiswa yang memiliki perencanaan matang, sementara lebih banyak pula yang tidak konsisten dalam merealisasikannya.

Ketiga, tidak disiplinnya mengevaluasi perencanaan dan target yang akan dicapai. Sebuah keberhasilan dapat dicapai melalui proses yang berliku. Diantara proses ini, evaluasi berkala terhadap perencanaan, menjadi satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan.

Keempat, minimnya jaringan yang dimiliki semasa kuliah. Mencari link dapat dilakukan dengan mengikuti organisasi intra maupun ektra kampus. Dengan adanya internet, jaringan akan lebih mudah lagi dicari, misalnya, aktif bergabung dalam milis yang sesuai dengan fakultas maupun jurusan masing-masing. Mengunjungi blog-blog tokoh terkenal, dan sebagainya.

Kelima, lupa terhadap krusialnya sebuah doa. Salah satu perbedaan fundamental sifat manusia dengan Sang Khalik terletak pada sebuah permohonan. Jika manusia selalu memohon sesuatu kepada manusia yang lain, dengan sifat manusiawinya, si pemberi akan merasa bosan, mungkin justru membenci orang yang selalu memohon pada nya. Namun, semakin sering manusia memohon pada Allah, maka Allah akan senang. “Berdoalah! Maka akan Ku kabulkan,” begitu janji Allah yang di nash dalam Quran.

Keenam, kurang aware terhadap pengembangan skill. Setiap manusia tentu memiliki skill yang diberikan Allah. Kampus, sebagai salah satu fasilitator dalam mengembangkan skill, tidak dimanfaatkan mahasiswa secara optimal.

Ketujuh, terlena dalam sebuah organisasi. Dengan beragam alasan klasik, para aktivis lebih memilih fokus melakukan kegiatan di organisanya. Sementara untuk meraih gelar sarjana dibutuhkan waktu belasan hinga puluhan semester. Akhirnya waktu dan kesempatan berharga terbuang sia-sia.

Kedelapan, salah memilih pergaulan. Kemajemukan dunia kampus tentu bergerak linier dengan varian jenis lingkungan di sekitarnya. Salah memilih pergaulan dan tidak segera menyadarinya, berimplikasi buruk pada masa depan.

Kesembilan, sifat malas yang selalu menghampiri. Kesalahan ini bermuara pada individu. Biasanya rasa malas datang ketika memasuki semester-semester akhir. Bagi yang terbuai, maka dapat berakibat fatal. Hal ini berkorelasi erat pada kesalahan butir pertama hingga ketiga.

Kesepuluh, suratan takdir. Dalam beberapa kasus banyak mahasiswa telah melakukan usaha dan doa yang optimal, namun, nasib baik belum berpihak. Jika ini terjadi, “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” Kesabaran menjadi key point untuk menghadapinya. Renungkanlah! “Bahwa seseorang tidak akan memperoleh kecuali apa yang ia usahakan.” (QS. An-Najm, 53: 39).

Sepuluh kealpaan ini memang sepele, namun memiliki efek meluas. Tidak ada salahnya diantisipasi dan diperbaiki guna menggapai karir yang didamba. Momentum pra dan pacsa prosesi wisuda, saat yang tepat merefleksikannya. Jika terpuruk, bangkitlah! Selalu ada kesempatan bagi siapapun yang ingin maju.

Siapa yang Ingin Rugi?


Bagaimana jika judul dalam tulisan ini, kita ajukan pada diri sendiri? Tentu siapa saja sepakat, tidak ada seorang pun yang ingin rugi. Baik dalam kehidupan sosial, politik, pendidikan, ranah materil maupun immateril. Tapi sebagai manusia, secara periodik pernah mengalami kegelisahan. Merasa kurang dengan apa yang dimiliki, jenuh terhadap aktivitas rutin, kemudian cenderung terjebak untuk meluangkan waktu dengan sia-sia.

Dalam salah satu firmannya, Allah mengingatkan pada kita, “Demi masa. Sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi.” Sebagaimana diketahui, dalam Islam, orang yang beruntung adalah jika hari ini memiliki keadaan lebih baik dari kemarin dan keadaan esok harus lebih baik dari hari ini.

Saya teringat nasehat almarhum Ayahanda di masa lampau. Katanya, waktu bagaikan bola salju yang terus menggelinding dan berhenti tanpa dapat diprediksi. Di dalam snow ball itu ada dua karakter manusia, karakter yang mampu memanfaatkan dan karakter manusia yang menyiakan-nyiakan waktu. Mampu mengoptimalkan waktu berarti memiliki karakter sejati dan berpeluang mendapatkan nasib yang baik, fii dunya wal akhirat.

Di penghujung tahun ini, mungkin saat yang tepat memeriksa agenda kita. Apakah seluruh perencanaan yang dibuat sebelumnya sudah diterapkan? Apakah kita komitmen dengan rencana dan evaluasi yang telah disusun? Apakah rencana pendek, menengah, dan rencana panjang telah membuahkan hasil? Apa saja kendala yang dihadapi dalam mencapai target? Solusi yang kiranya perlu dilakukan? Apa yang patut disiapkan untuk menyambut hari esok agar lebih baik?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak berlebihan. Mengingat perjalanan waktu kian bergulir cepat. Apalagi kondisi negara kita sedang terpuruk, gempa menjadi hal biasa, gunung meletus dimana-mana, musibah tak kunjung henti, jumlah kemiskinan semakin membengkak, bagi yang tidak siap menghadapi, akan terlindas jaman. Bila memang demikian, tidak menutup kemungkinan kerugian akan hadir dalam kehidupan sehari-hari. Padahal kerugian adalah antitesis dari impian seluruh manusia.

Meski demikian, tak selayaknya kita berpasrah diri dan berkecil hati. Sebab Allah tidak akan menguji di luar kemampuan hambanya. Artinya, selalu ada kesempatan untuk menghindari kerugian-kerugian dalam hidup. Selalu ada jalan bagi siapa saja yang ingin maju. Namun, Allah juga tidak akan merubah suatu kaum, sebelum kaum itu merubah nasibnya sendiri. Caranya? Banyak, setidaknya ada lima langkah yang bisa kita lakukan.

Pertama, selalu berdoa dan bersyukur. Doa merupakan senjata bagi umat Islam. Allah pun menganggap sombong manusia yang tidak pernah berdoa pada-Nya. Apapun yang terjadi, coba untuk selalu mensyukuri keadaan sambil terus berusaha dan berdoa. Barang siapa bersyukur, maka Allah akan menambahkan rizkinya. Sebaliknya, siapa saja yang kufur, sesungguhnya siksa Allah amatlah pedih. Demikian peringatan Allah yang diabadikan dalam Quran.

Kedua, minimalisir atau hilangkan sifat mengeluh. Misalnya, saat ini telah resmi menjadi sarjana. Namun, perusahaan selalu menolak lamaran, lapangan kerja menyempit, pengangguran merebak. Sepatutnya jangan menyalahkan keadaan, apalagi kalau menghakimi Tuhan. Kenapa? Setidaknya hari ini masih lebih baik dari kemarin. Jika kemarin adalah mahasiswa, tahun ini berhasil meraih gelar sarjana. Tapi, jangan pula cepat merasa puas atau hanya berdiam diri menunggu keadaan selanjutnya tanpa melakkan alternatif terbaik.

Ketiga, cobalah menanamkan karakter pembelajar sejati. Buku Self Empowerment by NLP; Jangan Mau Seumur-umur Dibodohi Diri Sendiri, menyimpulkan bahwa motif utama seorang yang bersikap positif adalah ingin menjadi seorang yang memiliki karakter pembelajar sejati. Karakter yang lahir dari proses atau dinamika sikap positif. Seseorang yang memiliki karakter ini selalu bersemboyan kapan dan di manapun serta dalam kondisi apapun akan tetap belajar. Intinya, segala peristiwa dan kondisi apapun, kita terus berupaya agar menghasilkan adanya kemajuan dan pengembangan diri.

Misalnya, untuk kepentingan nasib jangka panjang, kita rela menunda kesenangan sesaat, selalu berusaha menjalanai hidup dengan ikhlas meski cobaan selalu menghadang. Paling tidak mencoba untuk merubah sudut pandang. Dari cara pandang lama yang negatif menjadi positif, inferior menjadi superior. Dari konsep diri yang masih menerawang menjadi lebih jelas. Dari kebiasaan mensia-siakan waktu menjadi pribadi yang pandai menghargai waktu. Bukankah Allah telah bersumpah demi waktu? Apalagi akumulasi dari semua tindakan positif adalah modal awal dalam menentukan nasib di masa mendatang.

Keempat, taburkan karakter pembelajar sejati. Ini berkorelasi dengan langkah ketiga. Setelah memiliki karakter pembelajar sejati, taburkan pada orang-orang terdekat. Ciptakan suasana yang kondusif, bentuk lingkungan positif. Dari lingkungan keluarga, kawan, relasi, hingga lingkungan yang skalanya lebih luas.

Kelima, menerapkan konsep khusnul khotimah (akhir yang baik). Siapa pun pasti mengharapkan meninggal dunia dalam keadaan khusnul khotimah. Nah, tidak ada salahnya konsep ini diterapkan pada segala aspek kehidupan. Misalnya, dalam melakukan segala hal, berupaya mengakhirinya dengan hasil yang lebih baik. Selesaikan pekerjaan yang tertunda. Tingkatkan segala perbuatan dan hal-hal positif. Dengan kata lain, bila memulai sesuatu hal, akhiri dengan hasil yang maksimal.

Setelah bangkit dari tidur esok pagi, cobalah katakan pada diri sendiri, “siapa yang ingin rugi?” Kata Stephen Covey dalam bukunya Seven Habit of Highly Effective People, siapa menabur kebiasaan, akan menuai nasib. “Kesuksesan akan datang jika kita menghampirinya,” begitulah nasehat orang bijak terdahulu. Ya Allah, perbaikilah nasib kami dan jauhilah kami dari segala kerugian serta dekatilah pada kesuksesan, amin.